Janganlah Kita Menjadi Buih
SAYA sungguh terpana ketika pada tahun 2000 mengunjungi seseorang yang pernah sangat berpengaruh dan ditakuti karena jabatannya sebagai Menhankam/Pangab. Sebagai Menteri Pertahanan saat itu saya beranjangsana untuk sowan kepada semua mantan Menhankam/Pangab yang masih hidup. Ketika bertemu dengan seorang mantan Menhankam/ Pangab yang sangat kuat pada zaman Orde Baru, saya terpana dan sungguh masygul.
Orang yang dulu, tahun 1980-an, sangat kuat dan ditakuti oleh pegiat gerakan demokrasi itu sudah sangat ringkih dan tak berdaya. Ketika saya berkunjung ke rumahnya pada suatu siang, sang mantan Menhankam/Pangab itu sudah sangat tak mampu mengurus dirinya sendiri dalam urusan yang paling sederhana sekalipun, seperti berpakaian secara layak.
Orang yang dulu, tahun 1980-an, sangat kuat dan ditakuti itu sudah kehilangan auranya sama sekali. Kalau berjalan harus dipapah oleh orang lain dengan tertatih-tatih. Kumis dan jenggotnya tumbuh tak teratur. Dari mulutnya selalu menetes air liur yang tak bisa dibersihkannya sendiri karena tangannya sudah lemas. Dan ketika dipapah untuk menemui saya, sang mantan Menhankam/Pangab itu sarungnya melorot sehingga, maaf, auratnya terlihat tanpa dia sendiri dapat menahan lorotan sarung itu.
Hati saya menerawang jauh. Alangkah lemahnya manusia di hadapan alam yang diatur sepenuhnya oleh Allah. Alangkah dhaif manusia di hadapan Allah. Tak satu pun manusia gagah di muka bumi ini yang mampu melawan hukum alam yang pada hakikatnya adalah sunnatullah (hukum-hukum Allah). Tak ada satu pun manusia bisa bermimpi untuk berumur seribu tahun, berjaya dan berkuasa terus-menerus. Tak ada manusia yang dapat selamanya ada pada satu posisi yang sama, semuanya akan berputar.
Di dalam Quran surat al-Ra’du ayat (17) Allah memberi ibarat perputaran arus kehidupan manusia itu sebagai aliran air dan buih. Di dalam ayat itu Allah berfirman, “Allah menurunkan air dari langit yang kemudian mengalir atau tergenang dulu menurut ukuran genangannya dan mengalir lagi dengan membawa buih. Seperti (air dan buih) itulah Allah mengibaratkan cara hidup yang haq dan yang bathil; ada pun buih itu akan mengalir dengan percuma”.
Ayat tersebut sekurang-kurangnya memuat dua hal pokok. Pertama, kehidupan ini terus berjalan sebagai fantarei yang tak bisa ditahan siapa pun. Kedua, kita tak boleh hidup berkualitas seperti buih yang mengalir tanpa guna melainkan harus berusaha hidup dengan menjadi air.
Orang tak bisa menahan posisi hidupnya untuk terus pada puncak kejayaan dan kegagahan. Sebab suka atau tidak suka, sunnatullah akan menggesernya dari lemah menjadi kuat, dari gagah menjadi ringkih, dari berkuasa menjadi tidak berkuasa. Tentu saja perputaran arus hidup setiap orang berbeda-beda seperti halnya arus air di bumi yang keragamannya tak terhitung. Kalau kita sedang berjaya, ingatlah bahwa kejayaan itu ada masanya dan akan berputar menurut sunnatullah. Kalau sedang susah berdoalah dengan optimis agar putaran hidup berikutnya lebih menyenangkan.
Janganlah sampai kita menjadi buih, sebab buih itu hanya dapat diombang-ambingkan oleh air tanpa dapat sedikit pun menentukan arus air. Cara untuk itu adalah menjalani hidup dengan ihtisaab, memperhitungkan setiap langkah agar tak salah masuk ke arus yang jelek atau menjadi buih. Ibadah puasa yang sedang kita jalani saat ini adalah salah satu metode untuk mengarungi hidup di dalam arus air yang benar dan bukan sebagai buih yang terombang-ambing dengan percuma di atas arus air.
(Prof Dr Moh Mahfud MD SH, Ketua Mahkamah Konstitusi RI)
Orang yang dulu, tahun 1980-an, sangat kuat dan ditakuti oleh pegiat gerakan demokrasi itu sudah sangat ringkih dan tak berdaya. Ketika saya berkunjung ke rumahnya pada suatu siang, sang mantan Menhankam/Pangab itu sudah sangat tak mampu mengurus dirinya sendiri dalam urusan yang paling sederhana sekalipun, seperti berpakaian secara layak.
Orang yang dulu, tahun 1980-an, sangat kuat dan ditakuti itu sudah kehilangan auranya sama sekali. Kalau berjalan harus dipapah oleh orang lain dengan tertatih-tatih. Kumis dan jenggotnya tumbuh tak teratur. Dari mulutnya selalu menetes air liur yang tak bisa dibersihkannya sendiri karena tangannya sudah lemas. Dan ketika dipapah untuk menemui saya, sang mantan Menhankam/Pangab itu sarungnya melorot sehingga, maaf, auratnya terlihat tanpa dia sendiri dapat menahan lorotan sarung itu.
Hati saya menerawang jauh. Alangkah lemahnya manusia di hadapan alam yang diatur sepenuhnya oleh Allah. Alangkah dhaif manusia di hadapan Allah. Tak satu pun manusia gagah di muka bumi ini yang mampu melawan hukum alam yang pada hakikatnya adalah sunnatullah (hukum-hukum Allah). Tak ada satu pun manusia bisa bermimpi untuk berumur seribu tahun, berjaya dan berkuasa terus-menerus. Tak ada manusia yang dapat selamanya ada pada satu posisi yang sama, semuanya akan berputar.
Di dalam Quran surat al-Ra’du ayat (17) Allah memberi ibarat perputaran arus kehidupan manusia itu sebagai aliran air dan buih. Di dalam ayat itu Allah berfirman, “Allah menurunkan air dari langit yang kemudian mengalir atau tergenang dulu menurut ukuran genangannya dan mengalir lagi dengan membawa buih. Seperti (air dan buih) itulah Allah mengibaratkan cara hidup yang haq dan yang bathil; ada pun buih itu akan mengalir dengan percuma”.
Ayat tersebut sekurang-kurangnya memuat dua hal pokok. Pertama, kehidupan ini terus berjalan sebagai fantarei yang tak bisa ditahan siapa pun. Kedua, kita tak boleh hidup berkualitas seperti buih yang mengalir tanpa guna melainkan harus berusaha hidup dengan menjadi air.
Orang tak bisa menahan posisi hidupnya untuk terus pada puncak kejayaan dan kegagahan. Sebab suka atau tidak suka, sunnatullah akan menggesernya dari lemah menjadi kuat, dari gagah menjadi ringkih, dari berkuasa menjadi tidak berkuasa. Tentu saja perputaran arus hidup setiap orang berbeda-beda seperti halnya arus air di bumi yang keragamannya tak terhitung. Kalau kita sedang berjaya, ingatlah bahwa kejayaan itu ada masanya dan akan berputar menurut sunnatullah. Kalau sedang susah berdoalah dengan optimis agar putaran hidup berikutnya lebih menyenangkan.
Janganlah sampai kita menjadi buih, sebab buih itu hanya dapat diombang-ambingkan oleh air tanpa dapat sedikit pun menentukan arus air. Cara untuk itu adalah menjalani hidup dengan ihtisaab, memperhitungkan setiap langkah agar tak salah masuk ke arus yang jelek atau menjadi buih. Ibadah puasa yang sedang kita jalani saat ini adalah salah satu metode untuk mengarungi hidup di dalam arus air yang benar dan bukan sebagai buih yang terombang-ambing dengan percuma di atas arus air.
(Prof Dr Moh Mahfud MD SH, Ketua Mahkamah Konstitusi RI)
Komentar